Kuota Tangkap Ikan Hiu dan Pari
MATARAM-Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB mulai mengatur kuota tangkap untuk ikan hiu dan pari bagi nelayan di Lombok Timur (Lotim). “Sudah kita usulkan ke pemerintah pusat melalui BKSDA,” kata Kepala DKP NTB Yusron Hadi, Minggu (1/11).
Kuota tangkap yang diusulkan sebanyak 6.000 ekor per tahun. Untuk gabungan hiu maupun pari. Pengaturan ini menjadi hal baru. Sebab, di tahun-tahun sebelumnya tidak ada kuota tangkap, yang khusus diatur pemprov.
Sebelum mengusulkan kuota tangkap, DKP sudah melakukan pertemuan dengan sejumlah pihak terkait. Dari nelayan, pengepul, hingga akademisi.
Yusron menyebut, kuota tangkap ini mengatur beberapa spesies prioritas yang masuk kategori dilindungi hingga yang terancam punah. Seperti Hiu Lanjaman; Hiu Martil; Hiu Tenggiri; hingga Pari Kekeh.
“Nanti setiap kapal datang itu akan dicatat. Ini sudah kesepakatan bersama nelayan,” tuturnya.
Pertemuan dilakukan pertengahan Oktober kemarin. Melibatkan sekitar 46 nelayan. Yang berada di Desa Tanjung Luar dan Gili Maringkik.
Yusron menyebut, nelayan-nelayan ini memang khusus menangkap hiu dan pari. Wilayah tangkap mereka dilakukan hingga perairan Nusa Tenggara Timur.
Nelayan asal Tanjung Luar dan Gili Maringkik, dari generasi ke generasi telah memanfaatkan hiu dan pari. Sebagai sumber mata pencaharian mereka. “Nelayan kita sebenarnya sudah tahu jenis hiu mana saja yang boleh dan tidak boleh ditangkap,” jelas Yusron.
Kata Yusron, potensi tangkap nelayan bisa mencapai sekitar 12 ribu ekor. Tapi, kuotanya hanya diatur setengahnya. Dengan tujuan mengatur populasi hiu dan pari di laut. “Kita lakukan usulan tahun ini, dengan harapan tahun depan sudah bisa berlaku,” ujarnya.
Dari data yang dikeluarkan Wildlife Conservation Society (WCS), jumlah hiu yang didaratkan di Tanjung Luar bervariasi. Di 2017 lalu mencapai 6.690 ekor. Kemudian 2016 sekitar 8.006 ekor; 2015 5.198 ekor; dan 2014 ada 6.480 ekor.
Tangkapan didominasi Hiu Kejen (Carcharhinus falciformis) sekitar 36 persen; Hiu Macan (Galeocerdo cuvier) 20 persen; Hiu Lonjor (Carcharhinus amblyrhynchos) 10 persen; Hiu Martil (Sphyrna lewini) 10 persen.
Kemudian Hiu Karet (Prionace glauca Linnaeus) tujuh persen; Hiu Pemintal (Carcharhinus brevipinna lima persen; Hiu Merak Bulu (Carcharhinus obscurus) tiga persen; Hiu Mako Sirip Pendek atau Tenggiri (Isurus oxyrinchus) dua persen; Hiu Sorrah (Carcharhinus sorrah) dua persen; Hiu Tikus (Alopias pelagicus) dua persen.
Kabid Perikanan Tangkap DKP NTB Lalu Wahyudi Adiguna mengatakan, hiu maupun pari jadi spesies prioritas konservasi. Tapi di sisi lain, sejumlah nelayan di Gili Maringgik serta Tanjung Luar menjadikan hiu dan pari sebagai sumberdaya ekonomi mereka.
“Ini jadi sumber mata pencaharian penting untuk keluarga nelayan di dua desa itu,” katanya.
Dengan pertimbangan kondisi kerentanan alami hiu dan pari secara biologis, perlu dilakukan pengelolaan kolaboratif. Agar populasi hiu dan pari di alam tetap terjaga, namun tidak mengesampingkan kesejahteraan masyarakat nelayan.
Pemprov NTB melakukan inisiasi pengelolaan perikanan hiu yang berkelanjutan secara kolaboratif. Dengan landasan hukum Pergub Nomor 55 tahun 2020. Salah satunya dengan memfasilitasi aspirasi masyarakat untuk perikanan hiu dan pari yang berkelanjutan.
“Pengelolaan berkelanjutan ini tidak saja mementingkan kelestarian, tapi juga kesejahteraan masyarakatnya,” tandasnya. (dit/r5)